Asuhan Keperawatan pada Pasien Karsinoma Nasofaring
A. Definisi
B. Epidemiologi
Disebahagian provinsi di Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi yaitu 15-30 per 100.000 penduduk. Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong dan Guangzhou,dilaporkan sebanyak 10-150 kasus per 100.000 orang per tahun.Insiden tetap tinggi untuk keturunan yang berasal Cina Selatan yang hidup di negara-negara lain. Hal ini menunjukkan sebuahkecenderungan untuk penyakit ini apabila dikombinasikan dengan lingkungan pemicu (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002 dan Nasional Cancer Institute, 2009).
Di Indonesia,KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang terdapat di seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di bidang Telinga , Hidung dan Tenggorok (THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF (Nasir, 2009). Dari data Departemen Kesehatan, tahun 1980 menunjukan prevalensi 4,7 per 100.000 atau diperkirakan 7.000-8.000 kasus per tahun (Punagi,2007). Dari data laporan profil KNF di Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Universitas Sumatera Utara Hasanuddin Makassar ,periode Januari 2000 sampai Juni 2001 didapatkan 33% dari keganasan di bidang THT adalah KNF. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2002 -2007 ditemukan 684 penderita KNF.
C. Etiologi
D. Klasifikasi
E. Manifestasi Klinis
F. Patofisiologi
Sudah hampir dipastikan ca nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein laten pada penderita ca. nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus didalam sel host. Protein tersebut dapat digunakan sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1 adalah protein nuclear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. EBV tersebut mampu aktif dikarenakan konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen yang menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten (EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller.
G. Komplikasi
C. Etiologi
- Kerentanan Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar karsinoma nasofaring (Pandi, 1983 dan Nasir, 2009) .
- Infeksi Virus Eipstein-Barr
Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum pasien-pasien orang Asia dan Afrika dengan karsinoma nasofaring primer maupun sekunder telah dibuktikan mengandung antibody Ig G terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi. Hubungan ini juga terdapat pada pasien di Amerika yang mendapat karsinoma nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan karsinoma nasofaring tidak berdifrensiasi (undifferentiated) dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi (nonkeratinizing) yang aktif (dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak Universitas Sumatera Utara berhubung dengan tumor sel skuamosa atau elemen limfoid dalam limfoepitelioma (Nasir, 2009 dan Nasional Cancer Institute, 2009).
- Faktor Lingkungan
Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut berkaitan dengan timbulnya karsinoma nasofaring yaitu golongan Nitrosamin,diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin, Hidrokarbon aromatic dan unsur Renik, diantaranya nikel sulfat (Roezin, Anida, 2007 dan Nasir, 2009).
- Menurut WHO
- Tipe 1 : Karsinoma Sel Skuamosa (Squamose Cell Carcinoma), biasanya dijumpai pada pasien lanjut usia
- Tipe 2 : Karsinoma Non-Keratinisasi (Non-Keratinizing Carcinoma), pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi. Tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
- Tipe 3 : Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma).
- Sumbatan tuba eustachius atau kataralis.
Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa berdengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran.Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. - Radang telinga tengah sampai perforasi membran timpani.
Keadaan ini merupakan kelainan lanjutan yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi perforasi membran timpani dengan akibat gangguan pendengaran. - Epistaksis
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi perdarahan hidung atau epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna kemerahan. - Sumbatan hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lainlainnya. Epistaksis juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang. Hal ini menyebabkan keganasan nasofaring sering tidak terdeteksi pada stadium dini (Roezin & Anida, 2007 dan National Cancer Institute, 2009). - Pembesaran kelenjar limfe leher
Tidak semua benjolan leher menandakan kekhasan penyakit ini jika timbulnya di daerah samping leher, 3-5 cm di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan biasanya berada di level II-III dan tidak dirasakan nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien. Sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter. - Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar
Karena nasofaring berhubungan dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi, seperti penjalaran tumor melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat juga mengenai saraf otak ke-V, sehingga dapat terjadi penglihatan ganda (diplopia). Proses karsinoma nasofaring yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson.Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral.Dapat juga disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian biasanya prognosisnya buruk.
F. Patofisiologi
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme, fibrosis dari leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan gigi, dan hipoplasia struktur otot dan tulang diradiasi. Komplikasi ini terjadi selama atau beberapa hari setelah dilakukannya radioterapi. Retardasi pertumbuhan dapat terjadi sekunder akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism dapat terjadi dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin terjadi dengan penggunaan cisplatin dan radioterapi.Toksisitas ginjal dapat terjadi pada pasien yang menerima cisplatin. Mereka yang menerima bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan gigi yang tepat (Maqbook, 2000 dan Nasir, 2009).
H. Pemeriksaan Penunjang
I. Penatalaksanaan
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus. Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terpai adjuvant (tambahan) ( Roezin, Anida, 2007 National Cancer Institute, 2009).
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil saat ini sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002 dan Arisandi, 2008).
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi sisa tumor induk Universitas Sumatera Utara (residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi (Roezin, Anida, 2007).
Perawatan paliatif harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut rasa kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual ( Roezin, Anida, 2007).
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatas tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya meninggal dalam keadaan umum yang buruk , perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002 dan Roezin, Anida, 2007).
H. Pemeriksaan Penunjang
- Radiologi
Pemeriksaan CT scan/MRI nasofaring potongan koronal, aksial, dan sagital, tanpa dan dengan kontras berguna untuk melihat tumor primer dan penyebaran ke jaringan sekitar dan penyebaran kelenjar getah bening. Untuk metastasis jauh dilakukan pemeriksaan foto thoraks, bone scan, dan USG abdomen. - Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging)
Digunakan untuk follow up terapi pada kasus-kasus dengan dugaan residu dan residitif. - Patologi Anatomi Biopsi Aspirasi Jarum Halus Kelenjar Leher (BAJH): Pembesaran kelenjar leher yang diduga keras sebagai metastasis tumor ganas nasofaring yaitu, internal jugular chain superior, posterior cervical triangle node, dan supraclavicular node. BAJH adalah untuk melihat tumor induk. Biopsi nasofaring: pengambilan spesimen karsinoma nasofaring. Hasil biopsi menunjukkan jenis keganasan dan derajat diferensiasi. Pengambilan spesimen biopsi dari nasofaring dikerjakan dengan bantuan anestesi lokal ataupun anestesi umum. Biopsi dilakukan dengan menggunakan tang biopsi yang dimasukkan melalui hidung atau mulut dengan tuntunan rinoskopi posterior atau tuntunan nasofaringoskopi rigid/fiber.
- Pemeriksaan Lab
- Hematologik: darah perifer lengkap, LED, hitung jenis.
- SGPT (Serum Glutamic Pyruvate Transaminase)
- SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase)
- Alkali Fosfatase, LDH.
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus. Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terpai adjuvant (tambahan) ( Roezin, Anida, 2007 National Cancer Institute, 2009).
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil saat ini sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002 dan Arisandi, 2008).
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi sisa tumor induk Universitas Sumatera Utara (residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi (Roezin, Anida, 2007).
Perawatan paliatif harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut rasa kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual ( Roezin, Anida, 2007).
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatas tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya meninggal dalam keadaan umum yang buruk , perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002 dan Roezin, Anida, 2007).
J. Diagnosa
- Nyeri Kronik b.d Infiltrasi Tumor
- Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas b.d Mukus Berlebihan
- Resiko Infeksi d.d Supresi Respon Inflamasi
- Ketidakberdayaan b.d Keputusasaan
- Defisiensi Pengetahuan b.d Kurangnya Pengetahuan
DAFTAR PUSTAKA
Arima,Aria,C, 2006. Paralisis Saraf Kranial Multipel pada Karsinoma Nasofaring.Available from: http://library.usu.ac.id/download/fk/ D0400193.pdf [Accesed 17 April 2010]
Arisandi,D, Kep,2008.Asuhan Perawatan Pada Klien Dengan Kanker Nasofaring.Sekolah Tinggi Keperawatan Muhammadiyah Pontianak. Available from: http://www.fadlie.web.id/askep/askep-kankernasofaring9s.pdf. [Accesed 10April 2010]
PABI Yogyakarta,2010. Karsinoma nasofaring .Persatuan Dokter Spesialis Bedah Umum Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Herawati, Sri & Rukmini, Sri. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan Untuk Mahasiswa Fakultar Kedokteran gigi.Jakarta: EGC
Herdman, T. Heather. 2010. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta: EGC
Nasir,N, 2009. Karsinoma Nasofaring Kedokteran Islam.[diakes melalui http://www.nasriyadinasir.co.cc/2009/12/karsinomanasofaring_20.html 18 Oktober 2014]
National Cancer Institute, 2009. Nasopharyngeal Cancer Treatment.U.S.A [diakses pada 18 Oktober 2014 melalui http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasopharyngeal/HealthProfessional/page9]
Roezin & Anida. 2007. Karsinoma Nasofaring Dalam:Buku Ajar Telinga Hidung,Tenggorok Kepala Dan Leher.Edisi 6. Jakarta: FKUI
Universitas Sumatra Utara. 2010. Karnisoma Nasofaring. Medan: USU Press
Arima,Aria,C, 2006. Paralisis Saraf Kranial Multipel pada Karsinoma Nasofaring.Available from: http://library.usu.ac.id/download/fk/ D0400193.pdf [Accesed 17 April 2010]
Arisandi,D, Kep,2008.Asuhan Perawatan Pada Klien Dengan Kanker Nasofaring.Sekolah Tinggi Keperawatan Muhammadiyah Pontianak. Available from: http://www.fadlie.web.id/askep/askep-kankernasofaring9s.pdf. [Accesed 10April 2010]
PABI Yogyakarta,2010. Karsinoma nasofaring .Persatuan Dokter Spesialis Bedah Umum Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Herawati, Sri & Rukmini, Sri. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan Untuk Mahasiswa Fakultar Kedokteran gigi.Jakarta: EGC
Herdman, T. Heather. 2010. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta: EGC
Nasir,N, 2009. Karsinoma Nasofaring Kedokteran Islam.[diakes melalui http://www.nasriyadinasir.co.cc/2009/12/karsinomanasofaring_20.html 18 Oktober 2014]
National Cancer Institute, 2009. Nasopharyngeal Cancer Treatment.U.S.A [diakses pada 18 Oktober 2014 melalui http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasopharyngeal/HealthProfessional/page9]
Roezin & Anida. 2007. Karsinoma Nasofaring Dalam:Buku Ajar Telinga Hidung,Tenggorok Kepala Dan Leher.Edisi 6. Jakarta: FKUI
Universitas Sumatra Utara. 2010. Karnisoma Nasofaring. Medan: USU Press
Komentar
Posting Komentar